Minggu, 05 Mei 2013





      Berdasarkan cerita yang diperoleh dari buku berjudul ‘Rucatan Budaya Sumedang’ dan penuturan dari Bapak Anang Gunawan sebagai salah seorang tokoh masyarakat adat Rancakalong asal mula Tarawangsa secara singkat sebagai berikut. Saat Rancakalong berada di bawah pemerintahan Mataram, Rakyat Rancakalong pernah ditimpa malapetaka yakni hilangnya butiran padi (Dewi Sri) dari dalam kulitnya. Padi banyak yang tidak jadi, kalaupun berbuah tapi tidak berbiji atau hapa (dalam istilah Sunda). Kejadian ini diyakini bahwa masyarakat tani sudah melupakan tata tertib memuliakan padi (Dewi Sri). Masyarakat gelisah dan panik menghadapi hal tersebut, mereka kebingungan dari mana dan kemana mereka harus mencari bibit padi. Embah Wisanagara, Embah Jatikusukah, Embah Raksagama, Embah Wirasuta yang merupakan tokoh masyarakat pada waktu itu melihat terjadi kelaparan, macam-macam penyakit, juga tidak sedikit yang meninggal dunia. Selanjutnya para tokoh masyarakat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan keberangkatan ke Mataram untuk mencari bibit padi karena kabarnya di Mataram banyak bibit padi utusan yang berangkat ke Mataram disertai utusan dari Sumedang yaitu Nyai Sumedang.
Sesampainya di Mataram, mendapat kendala karena bibit padi di jaga dengan ketat tidak boleh di bawa keluar dari kerajaan Mataram dan selalu diincar oleh begal (perampok), maka untuk membawa bibit padi tersebut Embah Jatikusumah menciptakan dua buah alat musik yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk membawa benih padi dengan cara memasukannya ke dalam lubang resonator yang terdapat pada bagian belakang alat tersebut. Alat musik tersebut di beri nama Jentreng dan Tarawangsa (Ngek-ngek) dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
 



Sampai di Rancakalong di sambut masyarakat dengan meriah karena keberhasilannya mendapatkan bibit padi. Dari mulai saat itulah kesenian Tarawangsa hidup dan berkembang di Rancakalong, pada awalnya Tarawangsa hanya merupakan kesenian yang bersifat instrumental akan tetapi kemudian oleh masyarakat Rancakalong dijadikan sebagai seni hormatan kepada Dewi Sri sehingga tidak hanya instrumen saja tetapi juga ada unsur upacara dan unsur tari. Kesenian ini dipergelarkan di Saung (rumah kecil tempat istirahat di sawah) sebagai upacara hormatan pada Dewi Sri dengan dipimpin oleh Saehu dan Paibuan.
Semakin berkembangnya jaman yang mempengaruhi pola pikir dan pola kehidupan masyarakat, maka kesenian sebagai hormatan tersebut tidak lagi dipergelarkan di saung tetapi di rumah. Juga bukan hanya dipergelarkan pada acara syukuran panen padi saja tetapi pada peringatan-peringatan yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia, seperti : kelahiran, khitanan, pernikahan dan lain sebagainya.
Bapak Cucu Sutaryadibrata salah seorang budayawan dari Sumedang yang sekarang menjabat sebagai kasubdin kebudayaan berpendapat bahwa dampak sosial dari kesenian Tarawangsa pada masyarakat Rancakalong yakni sebagai berikut.
a. Memiliki nilai silaturahmi karena dengan diadakannya pergelaran Tarawangsa maka antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya akan saling bertemu sehingga tali silaturahmi dan persaudaraan akan tetap terjalin.
b. Terjalin komunikasi, dengan bertemunya antar keluarga, selain adanya silaturahmi akan terjalin pula komunikasi satu sama lain baik secara individu, kelompok juga keluarga.
c. Menyerap informasi, setelah terjalin komunikasi selanjutnya akan terjadi saling informasi baik mengenai kehidupan ataupun mata pencaharian.
d. Termotivasi, melalui informasi yang diperoleh dari orang lain akan terjadi motivasi dalam diri untuk dapat mengikuti apa yang sedang menjadi suatu mayoritas dalam lingkungannya misalnya saja kalau ada orang menanam jagung, maka masyarakat Rancakalong beramai-ramai menanam jagung, kalau sedang musim menanam ubi masyarakat pada umumnya akan menanam ubi pula.
e. Belajar untuk bisa, pada masyarakat Rancakalong yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani biasanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam menggarap sawah atau kebun, mereka kerjakan sendiri oleh karena itu masyarakat Rancakalong akan belajar sehingga bisa mengerjakan apa yang tadinya belum bisa dikerjakan sendiri.
f. Bekerja sesuai bisa, yakni, setiap orang akan bekerja sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya seperti ketika membantu mendirikan rumah kalau orang yang bisa memahat kayu maka bekerjanya juga sebagai pemahat kayu, kemudin kalau orang yang suka mengambil aren (nyadap) untuk membuat gula merah maka akan bekerja sebagai tukang mengambil aren tidak akan bekerja jika tidak sesuai dengan keahliannya.
g. Menempatkan diri posisinya selalu bermanfaat, seperti kalau dalam acara hajatan setiap orang selalu bekerja pada bagian yang mereka anggap dibutuhkan seperti tukang memasak nasi, menggodog, mengambil kayu bakar dan lain sebagainya.
h. Selalu ingin di butuhkan, dimana dalam suatu hal orang akan merasa dirinya harus dibutuhkan oleh orang lain, artinya akan terjadi saling ketergantungan.
Banyaknya dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat dari pergelaran Tarawangsa, maka kesenian tersebut sampai sekarang masih tetap dipelihara keberadaannya oleh masyarakat pendukung kesenian tersebut.
Meskipun dampak sosial dari kesenian Tarawangsa sangat dirasakan, akan tetapi tidak sedikit di daerah rancakalong juga sudah mulai ditinggalkan oleh generasi-generasi selanjutnya walaupun berbagai upaya para tokoh kesenian Tarawangsa dan pemerintah setempat untuk tetap mempertahankan dan melestarikan apa yang mereka miliki, sehingga tetap dapat menjadi kebanggaan bagi masyarakat sebagai pemilik kesenian.


0 komentar:

Posting Komentar